Sabtu, 23 Januari 2010

Sejarah dalam perspektif al-Qur'an


A. Pendahuluan

Al-Quran biasa didefinisikan sebagai firman Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril sesuai dengan redaksi-Nya, kepada Nabi Muhammad saw. dan diterima oleh ummat Islam secara tawatur[1] dan al-Qur’an merupakan kitab stilistika Arab yang sakral[2], dibuat sebagai pedoman dan tuntunan bagi ummat manusia dalam menata kehidupannya, agar mereka memperoleh kebahagiaan didunia dan akhirat. Atas dasar tersebut setiap muslim sejak datangnya Islam telah menyakini, dan harus meyakini[3] bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi. Tanpa keyakinan yang kruasial ini tak seorangpun yang bahkan dapat menjadi muslim secara nominal.[4]

Keberadaan manusia di dunia ini sebagaimana di isyaratkan dalam al-Qur’an surah Adz-Zariyat ayat 56 adalah untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya[5]. Pelaksanaan dari ibadah tersebut membawa manusia kepada pelaku atau pembuat sejarah. Berbagai aktivitas yang dilakukan manusia dalam rangka ibadah, terutama kegiatan yang berdampak luas dan bermanfaat dalam jangka panjang biasanya di catat dan di kenang oleh manusia sepanjang masa, cacatan tersebut terkadang di abadikan dalam bentuk ornament, tugu, perasasti, dan buku-buku dan inilah yang kemudian menjadi sumber sejarah. Dengan demikian, manusia di dunia ini pada hakekatnya membuat sejarah.

Sejarah yang dilakukan manusia di masa lalu dinilai sebagai bahan berharga yang patut di pelajari dan di telaah secara seksama untuk diambil pelajaran dan hikmah yang terkandung didalamnya. Itulah sebabnya maka sejarah tersebut ditulis dalam buku dan dimasukkan kedalam salah satu disiplin ilmu yang dipelajari di berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat yang paling rendah sampai ketingkat paling tinggi.

Dengan demikian sejarah tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia karena manusia membuat sejarah dan manusiapun butuh pada sejarah. Al-Qur’an dengan fungisi utamanya memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia agar berjalan di atas ketentuan yang benar telah pula memanfaatkan sejarah. Al-Qur’an telah banyak mendorong manusia agar memperhatikan perjalanan ummat masa lalu agar di ambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan selanjutnya. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi misalnya mengimformasikan, bahwa di dalam al-Qur’an tidak kurang sebanyak 7 kali[6] Allah SWT. menyuruh manusia untuk mempelajari kehidupan ummat masa lampau, sebagaimana firmannya:

“Sesungguhnya Telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.(QS. Ali-Imran:137).[7]

Berkenaan dengan hal tersebut diatas, Al-Maraghi dalam tafsirnya, Tafsir al-Maraghi mengatakan bahwa memperhatikan kehidupan orang-orang terdahulu, baik yang shalih maupun yang durhaka dapat memberikan petunjuk pada jalan yang lurus. Jika seseorang mengambil jalan kehidupan orang-orang yang shalih, maka akibatnya akan seperti apa yang dirasakan oleh orang tersebut dan sebaliknya jika seorang mengambil jalan hidup orang yang durhaka, maka akibatnyapun seperti yang di alami oleh orang yang durhaka.[8]

Beradasarkan pada pemikiran tersebut maka perlu melihat secara khusus bagaimanakah orientasi sejarah dalam perspektif al-Qur’an. Dalam makalah ini akan mencoba membahasnya dengan uraian pengertian sejarah, al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia, ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan studi sejarah, faktor-faktor yang mempengaruhi sejarah manusia dalam al-Qur’an, al-Qosas, ibrah dan hidayah.

B. Pembahasan

1. Pengertian sejarah

Agar kita tidak bingung dalam memahami maksud dari tulisan ini, maka akan dimulai dengan sedikit mengulas tentang pengertian sejarah. Secara harfiyah sejarah adalah berasal dari bahasa arab, tarikh yang artinya paling kurang ada tiga macam: 1. Silsilah, asal usul (keturunan). 2. Kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; riwayat. 3. Pengetahuan atau uraian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau.[9]

Lebih lanjut Taqiyuddin dalam Kuntowijoyo mengatakan, kata sejarah di ambil dari bahasa Arab yaitu kata syajara yang berarti terjadi; syajarah yang berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah.[10]

Tampaknya makna sejarah di atas lebih cendrung menjelaskan tentang pelaku dari suatu peristiwa yang melalui contoh tersebut, pelakunya adalah pohon dan manusia. Berbeda dengan kata sejarah yang di ambil dari bahasa inggeris yaitu kata history yang berarti masa lalu; kata geschihct dalam bahasa jerman yang berarti sesuatu yang telah terjadi dan kata historia dalam bahasa yunani yang berarti orang pandai[11]. Makna dari ketiga kata dalam bahasa asing ini memberikan kejelasan dan arah yang jelas kepada kita bahwa suatu peristiwa tidak hanya terdiri dari pelaku sejarah tetapi ada unsur-unsur sejarah lain yang lebih penting yaitu waktu.

Dalam buku Whot is History?, pernyataan berikut di kutip dari Sir George Clark, sebagaimana di kemukakan oleh Murtdha Muthahhari ialah pengetahuan masa lampau yang telah sampai kepada kita melalui satu atau lebih pikiran manusia, dan yang telah di peroses oleh mereka, dank arena itu tak bisa berdiri atas atom-atom elemental dan tak pribadi yang tak dapat di ubah oleh apapun…Penjelajahan tampaknya tak berkesudahan, dan sebagian ilmuan yang tak sabar, berlindung dalam skeptisisme, atau paling tidak dalam doktrin bahwa karena semua penilaian atas sejarah melibatkan pribadi-pribadi dan pendapat-pendapat, maka tidak ada kebenaran obyektif sejarah.[12]

Namun demikian jika kesemua makna sejarah yang telah ditulis oleh para penulis sejarah tersebut dipadukan maka akan diperoleh suatu makna sejarah sebagaimana yang kita sering dengar dan membacanya di berbagai literatur sejarah yaitu bahwa sejarah adalah peristiwa yang mengena pada manusia dan terjadi pada masa lalu yang di susun dan di tulis secara sistematis untuk kemudian di publikasikan kepada masyarakat oleh penulis sejarah.

Kemudian William berpendapat sejarah dalam pengertian modern adalah peroses pemikiran atau penafsiran seseorang pada suatu peristiwa masa lalu.[13] Selanjutnya dalam pemikiran Wiliyam tersebut menunjukkan bahwa sejarah merupakan hasil pemikiran yang tertuang kedalam bentuk karya ilmiyah.

2. Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk

AlQur’an mempunyai sekian banyak fungsi, diantaranya adalah sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad, bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapapun yang meragukannya untuk menyusun semacam al-Qur’an secara keseluruhan, Kedua, menantang mereka untuk menyusun semacam al-Qur’an, Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah yang semisal dengan al-Qur’an, Keempat, menantang mereka untuk menysun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah saja.

Walaupun al-Qur’an menjadi bukti kebenaran nabi Muhammad tapi fungsi utamanya adalah menjadi petunjuk untuk seluruh manusia. Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga di sebut syari’at. Syariat dari segi pengertian kebahasan, berarti “jalan menuju sumber air”. Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Rohaninyapun membutuhkan “air kehidupan”. Di sinilah syari’at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu.[14]

Dalam konteks seperti ini maka al-Qur’an merupakan pedoman hidup manusia sudah selayaknya ummat muslim untuk membaca al-Qur’an, karena tidak ada bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca yang dapat menandingi al-Qur’an. Dan tiada bacaan melebihi al-Qur’an dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turnnya bahkan kandungannya baik yang tesirat maupun yang tersurat dan kesan yang di timbulkannya.[15]

Sebagai seorang muslim kita meyakini bahwa al-Qur’an dalam petunjuk-petunjuknya amat istimewa dan sempurna. Betapa tidak, petunjuk-petunjuknya lebih-lebih dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya- tidak mementingkan nama atau bentuk lahirnya, tetapi mengarah kepada jiwa dan subtansi yang mengantar manusiamenuju kebahagiaan dan kesejahteraan lahir dan batin. Dengan mengarah kepada tujuan dan subtansi, serta menempatkan bentuk dan sarana dalam wilayah kewenangan ilmu, seni serta perkembangan pemikiran masyarakat, menyebabkan tuntunan al-Qur’an dapat diterapkan dimana dan kapan saja, itulah keistimewaan al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah kitab yang kekal. Al-Qur’an mengeluarkan ummat dari kesesatan menuju jalan yang benar dengan membuka lebar mata mereka, lalu al-Qur’an mengajarkan kebenaran sehingga ummat tersebut menjadi ummat yang terhormat, maka tidak salah lagi al-Qur’an di namakan sebagai kitab ideologi.[16]

Dalam al-Qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi al-Qur’an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk manusia secara umum, sebagai firmannya:

“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.(QS:Al-Baqarah: 185).[17] Kedua, al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang bertaqwa, sebagaimana firmannya:

Artinya: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS.al-Baqarah: 2)[18]. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana firmanNya:

“Dan Jikalau kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh". (QS. Fushshilat: 44).[19]

Sisi keistimewaan petunjuk al-Qur’an dapat pula terlihat pada perinsip yang diperkenalkannya, yaitu prinsip yang berfungsi sebagai hak “Veto” terhadap rincian ketetapan-ketetapannya, sehingga melalui prinsip tersebut, rincian ketetapan dapat di sesuaikan bahkan di batalkan.[20]

Prinsip-perinsip di atas merupakan keistimewaan al-Qur’an yang di akui oleh ummat muslim dan sebagai bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi petunjuk-petunjuknnya, bahkan tidak jarang di antara mereka yang mengangkat rincian petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan menjadikannya sebagai bukti kebenaran walaupun petunjuk tersebut hanya dikandung oleh satu ayat yang pendek.

3. Ayat-ayat al-Qr’an yang berkaitan dengan studi sejarah.

Islam menaruh perhatian besar terhadap studi sejarah. Al-Qur’an yang merupakan sumber inspirasi, pedoman hidup dan sumber tata nilai bagi ummat Islam. Sekitar dua pertiga dari keseluruhan ayat al-Qur’an yang terdiri dari 6660 ayat memiliki nilai atau norma sejarah.[21]

Al-Qur’an berbicara tentang perubahan dalam sejarah, dimana perubahan itu menurut penegasan Allah sangat di tentukan oleh kebaikan dan keburukan perbuatan manusia. Hal ini seperti kebiadaban orang kafir terhadap nabi Muhammad, yang di abadikan Allah dalam firmanNya:

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”.(QS. An-Nahl: 127).[22]

Di samping itu, al-Qur’an juga berbicara sebab-sebab khusus terjadinya dissintegrasi sosial, bangsa , semisal dissintegrasi yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. Dissintegrasi itu tidak lain karena tingkah laku manusia sendiri yang sudah terlalu jauh menyimpang dari sendi-sendi kebenaran hakiki, dalam ranah ini Allah berfirman:

“Yang demikian itu adalah Karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah”. (QS. Al-An’Am: 131).[23]

Maksud dari ayat ini adalah Allah tidak akan mengazab penududuk satu desa atau kota meskipun mereka berbuat kekafiran, sebelum diutus Rasul yang akan memberi peringatan kepada mereka. Akan tetapi kalau sudah di utus seorang Rasul kepada mereka, dengan kitab suci yang di tinggalkan kepada mereka dan mereka tetap berbuat kezaliman dan kekufuran, maka Allah akan mengazab mereka di dunia dan di akhirat.[24]

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam QS. Hud:117 Allah menyebutkan, “Tidak sekali-kali membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduk negeri itu adalah orang-orang yang yang berbuat kebaikan”. Maksud dari ayat ini adalah dengan jelas Allah menyatakan bahwa pembinasaan dan pendatangan musibah dari-Nya baru di timpakan, jika satu kampung atau masyarakat suatu Negara berbuat durjana atau kezhaliman. Karena itu, nyata pula bahwa perhatian Allah terhadap tingkah laku dan perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia begitu besar.[25]

4. Model Al-Qur’an dalam mengungkapkan pristiwa sejarah manusia dalam al-Qur’an.

Dalam memahami pristiwa sejarah manusia dalam al-Qu’an, ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi. Sebagai sampel yang di gunakan di sini adalah sejarah kehidupan nabi Ibrahim, nabi Muhammad, Fir’aun dan bangsa Romawai.

Berkatian dengan hal tersebut diatas, maka faktor-faktor yang sangat berpengaruh adalah faktor non fisik dan fisik. Faktor-faktor yang dimaksud akan dibahas secara singkat sebagai berikut:

a. Faktor non fisik

1) Faktor Moral

Dalam al-Qur’an kata-kata adil di sebutkan sebanyak 57 kali yang tersebar kedalam 40 surah, sedangkan kata zalim di sebut sebanyak 72 kali yang tersebar dalam 33 surah[26].

Dalam ulasan al-Qur’an tentang beberapa tokoh terlihat adanya nabi Ibrahim dan nabi Muhammad yang berlaku adil, sebagaimana di gambarkan dalam firman-Nya;

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)”,(120); “(lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah Telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus”,(121);”Dan kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. dan Sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh”.(122).(QS.An-Nahl:120-122)[27].Lihat pula (QS.Ali-Imran, 159, 164).

Kedua tokoh ini dikemukakan dalam al-Qur’an sebagai faktor yang membawa keberhasilan, sebgaimana firman-Nya:

“ (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.(QS. Al-A’raf:157).[28]

Sementara itu Fir’aun dan bangsa Romawi digambarkan dalam al-Qur’an sebagai orang yang berbuat zalim;

“Dan (Ingatlah) ketika kami selamatkan kamu dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu”.(QS. Al-Baqarah: 49).[29]

Dan bangsa ini digambarkan dalam al-Qur’an yang mengalami kehancuran, sebagaimana firman-Nya;

“Dan (ingatlah), ketika kami belah laut untukmu, lalu kami selamatkan kamu dan kami tenggelamkan (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan”. (QS. Al-Baqarah:47).

Dalam penyimpangan moral, ulasan al-Qur’an terdap nabi Ibrahim dan nabi Muhammad di gambarkan sebagai dua tokoh yang berpegang teguh pada moral yang diperintahkan kepadanya;

“Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan Aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan".(QS.Al-Aqaf:5).

Demikian mereka digambarkan dalam al-Qur’an sebgai orang yang berhasil. Sedangkan Fir’aun dan bangsa Romawi sebagai orang yang tidak memperhatikan nilai-nilai moral;

“Sesungguhnya Fir'aun Telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Qasas:4).

2) Pendidikan dan keterampilan

Dalam bidang pendidikan dnketerampilan nabi Muhammmad memberikan pendidikan tentang mental spiritual, militer, perdagangan, pertanian dan baca tulis;

“Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (QS. Al-Kahfi:109)[30].

Demikian halnya dengan nabi Musa memberikan pendidikan mengenai mental spiritual, peternakan, militer, dan jual jasa;

“Dan setelah Musa cukup umur dan Sempurna akalnya, kami berikan ke- padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Qasas:14)

Fir’aun memberikan pendidikan kepada rakyatnya tentang pembangunan gedung-gedung, pertanian, penggalian hasil tambang, industri dan militer sedangkan Romawi memberikan pendidikan tentang militer, pembuatan benteng-benteng, pertanian dan peternakan[31].

Msing-masing bangsa mengalami kemajuan sesuai dengan zamannya. Apa yang diberikan oleh nabi Ibrahim dan nabi Muhammad pendidikan yang diberikannya adalah pendidikan umum dan pendidikan agama, sedangkan yang dilakukan oleh Fir’aun dan bangsa Romawi bercorak sekuler hanya mementingkan dunia semata[32]. Apabila dilihat dari dua corak pendidikan tersebut, maka model pendidikan ini akan melahirkan corak kebudayaan, sejarahnya dan daya tahannya sebagai suatu bangsa dan sekaligus penilaiannya terhadap arti kemajuan.

b. Faktor Fisik

1) Faktor ekonomi.

Faktor ekonomi dengan berbagai bentuknya, ikut mempengaruhi kejayaan dan kejatuhan suatu bangsa dalam sejarah. Al-Qur’an mengemukan bahwa Fir’aun mencapai kejayaannya karena faktor ekonomi, kemudian mereka hancur ketika sumber-sumber ekonominya mengalami kemerosotan. Al-Qur’an juga menggambarkan kejayaan nabi Ibrahim, sebagaimana firman-Nya;

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali". (Al-Baqarah: 126).

Demikian halnya dengan sejarah keberhasilan nabi Muhammad dalam membangun masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan faktor ekonomi. Sejarah mencatat bahwa sejak usia muda ia pernah berniaga ke Syam membawa dagangan Siti Khadidjah, di Syam Rasulullah menjual barang dagangannya dan membeli apa saja yang beliau inginkan[33] dan beliau juga pernah menjual jasa sebagai pengembala kambing.

2) Faktor Gegrafis/Lingkungan

Berdasarkan petunjuk al-Qur’an bahwa kondisi alam tempat kediaman nabi Ibrahim, nabi Muhammad, Fir’aun dan bangsa Romawi ikut mendukung kejyaan mereka. Alam tempat tinggal nabi Ibrahim cocok untuk kegiatan pertanian, peternakan, dan perdagangan, demikian pula alam tempat tinggal nabi Muhammad . Sedangkan tempat tinggal Fir’aun adalah lembah Nil yang termasuk daerah subur untuk pertanian, peternakan, perindustrian, penggalian sumber bahan tambang[34]. Namun hal inilah yang ikut mendukung kemajuannya, oleh karena itu ketika lingkungan alam itu di timpa azab Tuhan, praktis mereka menuju kehancuran. Sebagaimana yang di gambarkan dalam Qur’an surah Al-A’raf: 130-136[35]. Demikian halnya dengan bangsa Romawi.

Dari uraian diatas Nampak bahwa perkembangan sejarah ummat manusia dalam al-Qur’an selalu di pengaruhi oleh dua faktor tersebut. Menurut pandangan al-Qur’an perubahan sejarah manusia harus diawali dari perubahan sikap mental dan pemikirannya melalui pemberian nilai-nilai moral yang berfungsi sebagai sumber etos kerja dan sekaligus sebagai pembimbing dan pengarah perjalanan sejarahnya.



[1]M.Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, (Mizan, Bandung, 1999), hlm. 43.

[2]Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum an-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, terj. Khoiran Nahdliyyin, Tektualitas al-Qur’an; Kritk terhadap Ulumul Qur’an ,(LkiS, Yogyakarta, 2002), hlm. 2.

[3] Ahmad Syukri Saleh , Metodologi Tafsir Kontenporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press, Jakarta, 2007), cet. ke-1, hlm. 108

[4] Ibid.

[5] QS. Adz-Zariyat: 56.

[6] Muhammad Fuad Al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz Al-Qur’an Al-Karim, Beirut: Daaral Fikr, 1987), hlm. 706.

[7] QS. Ali-Imran: 137.

[8] Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid II, (Beirut, Daar al-Fikr,tp. Th), hlm. 76.

[9] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus umum bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta, 1991), hlm. 887.

[10] Taqiyudin, Sejarah Pendidikan; Melacak Geneologi Pendidikan Islam di Indonesia,(Mulia Press, Bandung, 2008), hlm. 12.

[11] Ibid.

[12] Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah; Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, terj. M. Mashem, (Mizan, Bandung, 1995), cet. ke-5, hlm. 74.

[13] Op., cit.

[14] M. Quraisyh Syihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan masyarakat, (Mizan, Jakarta, 1992), hlm. 27.

[15] M. Quraish Syihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Mizan, Bandung, 1998), cet. ke-8, hlm. 3.

[16] Aidh bin Abdullah Al-Qarni, The Way Of Al-Qur’an, terj. Desti Anggreini, (Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2004), cet. ke-1, hlm. 35.

[17] QS. Al-Baqarah: 185.

[18] QS. Al-Baqarah: 2.

[19] QS. Al-Fushshilat: 44.

[20] M. Quraish Syihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Mizan, Bandung, 2000),cet. ke-7, hlm. 224.

[21] Misri A. Muchsin, Fisafat Sejarah Dalam Islam, (Ar-Ruzz Press Khazanah Pustaka Indonesia, Djogjakarta, 2002),hlm. 23.

[22] QS. An-Nahl: 127.

[23] QS. Al-An-Am:131.

[24] Op. Cit.

[25] Mashaerudin Siddiqi, Konsepsi Al-Qur’an tentang Sejarah, tej. Nur. Rachmi, et. al., (Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 20.

[26] Abudin Nata, ed., Kajian Tematik al-Qur’an tentang Kontruksi Sosial, (Angkasa, Bandung, 2008), hlm. 206.

[27] QS.An-Nahl: 120-122. Lihat pula, (QS. Ali-Imran, 154, 159).

[28] QS.Al-A’raf: 157.

[29] QS. Al-Baqarah: 49.

[30] QS. Al-Kahfi:109. Lihat pula, QS. al-Alaq 1-5; QS. al-Mujadalah: 11).

[31] Abudin Nat.ed., Op. cit., hlm. 215.

[32] Ibid, hlm.215.

[33] Muhammad Rawwas Qol’ahji, Qira’ah Siyasiyah Li Sirah Nabawiyah, terj. Tim Al-Izzah, (Al-Azhar Press, Bogor,2006), hlm.25.

[34] Abudin Nata, ed. Op., cit, hlm. 219.

[35]QS. Al-A’raf: 130-136. Lihat pula, QS. al-Qasas: 41,42; QS. az-Zukhruf:48.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar