Minggu, 24 Januari 2010

ALI IBN ABI THALIB

A. KELUARGA ALI IBN ABI THALIB
Ali Ibn Abi Thalib keturunan Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat .
Ayah Ali Ibn Abi Thalib adalah Abdul Manaf. Sedangkan nama “Abu Thalib” adalah untuk nama panggilan Abdul Manaf yang diambil dari nama putra sulungnya, yaitu Thalib (kata “Abu” berarti bapak dan kata “Thalib” adalah nama putera sulungnya).
Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah. Sedangkan Abdullah sendiri adalah ayah Muhammad saw. Abu Thalib telah memelihara dan mengasuh Muhammad saw pada waktu masih kecil, dan setelah beliau besar dan dewasa, Abu Thalib juga yang membela, melindungi, dan menjaga keselamatannya.
Ibu Ali Ibn Abi Thalib bernama Fatimah Binti Asad bin Hasyim. Dalam kitab ‘al-Mustadrak”, al-Hakim mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari sumber yang terpercaya (tsiqah), bahwa fatimah binti Asad adalah seorang wanita yang sangat kuat iman dan takwanya setelah memeluk Islam. Ia termasuk wanita yang kuat dalam berpegang kepada agama setelah ia memeluk Islam, dan kemudian ikut hijrah ke Madinah.
Ketika Ali Ibn Abi Thalib baru lahir, Fatimah binti Asad telah memberi namanya dengan “Haidarah” yang artinya adalah “singa”. Akan tetapi orang lebih mengenalnya dengan sebutan “Ali”yang telah diberikan oleh Muhammad saw . Setelah dewasa, Ali mempunyai beberapa nama panggilan. Ia dipanggil juga dengan “Abul Hasan” dan “Abul Husain”, yang masing-masing diambil dari nama dua puteranya, yaitu al-Hasan dan al-Husain. Ketika Rasul saw masih hidup, al-Hasan memanggil ayahnya dengan “abul Husain”, dan al-Husain memanggil ayahnya dengan “abul Hasan”. Selain itu, Ali juga mempunyai nama panggilan yang diberikan oleh Rasul yaitu “Abu Thurab” (Abu bermakna “bapak”, dan Turab bermakna “tanah, pasir, dan debu”) .
Mengenai hari lahir Ali Ibn Abi Thalib, berbagai sumber riwayat berbeda pendapat. Akan tetapi sebagian besar pendapat mengatakan bahwa ia lahir pada hari Jumat malam tanggal 10 bulan Rajab. Dalam kitab “Fushul al-Muhimmah” terdapat sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Ali Ibn Abi Thalib lahir pada malam minggu tanggal 23 bulan rajab. Sumber riwayat lain mengatakan bahwa ia lahir pada malam Minggu tanggal 7 bulan Sya’ban, 30 tahun setelah tahun gajah. Akan tetapi ada riwayat lain mengatakan bahwa ia lahir pada tanggal 29, 30 tahun setelah kelahiran Muhammad. Ali Ibn Abi Thalib lahir di dalam Ka’bah di kota Mekkah .
Seperti diriwayatkan, Ali Ibn Abi Thalib tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah Saw saat beliau hijrah dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al-Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.
Istri Ali Ibn Abi Thalib yang pertama adalah Fatimah az-Zahra binti Muhammad saw. Ketika istrinya yang pertama itu wafat, Ali tidak mempunyai istri lain. Sepeninggalan Fatimah az-Zahra, ia nikah dengan Umamah binti Abul-‘Ash, puteri Zainab binti Rasulullah, kakak Fatimah az-Zahra ra., kemudian nikah dengan Ummul-Banin binti Haram bin Darim al-Kilabiyah; dengan Laila Binti Mas’ud binti Khalid an-Nahsyaliyah at-Tamimiyah ad-Daramiyah; dengan Asma binti Umais al-Khats’amiyah.
Keturunannya yang mulia, selanjutnya mengalir dari Hasan, Husain, Muhammad Ibn Hanafiah, Umar dan Abbas. Karena kecintaan dan penghormatannya yang mendalam terhadap sahabat Nabi yang mulia, dan yang telah dijanjikan masuk surga, maka ia menamakan beberapa orang anaknya dengan nama-nama mereka, yaitu: Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Abu Bakar, anaknya, terbunuh bersama Husain dalam peristiwa Karbala. Anak ini merupakan anak dari isterinya, Laila bin Mi'waz. Sementara anaknya Utsman yang dilahirkan dari isterinya Ummu Banin, juga terbunuh dalam perisiwa Karbala. Sedangkan Umar adalah anaknya dari Ummu Habib ash Shahba .

B. PENGALAMAN ALI IBN ABI THALIB DALAM PEPERANGAN
Semua penulis kitab-kitab sejarah dan hadits memberitakan bahwa Ali Ibn Abi Thalib tidak pernah tidak turut berperang bersama-sama Rasulullah kecuali dalam perang tabuk . Berikut ini penulis paparkan pengalaman perang yang pernah diikuti oleh Ali Ibn Abi Thalib , dengan difokuskan hanya pada perang Badar dan perang Uhud.
1. Perang Badar.
Perang badar merupakan peperangan pertama yang terpaksa dihadapi oleh kaum muslimin, dan sekaligus merupakan demonstrasi kegigihan dan ketangguhan kaum muslimin melawan serangan bersenjata kaum musyrikin Quraisy, dan juga untuk pertama kali bendera perang Rasulullah berkibar di medan laga. Bendera yang melambangkan tekad perjuangan menegakkan agama Allah itu oleh Rasulullah diserahkan kepada Ali. Bendera perang (raayah) melambangkan kepemimpinan atas seluruh pasukan, sedangkan panji-panji (liwa’) melambangkan kepemimpinan atas sebagian pasukan. Dengan demikian, maka pemegang bendera perang sama kedudukannya dengan panglima, dan pemegang panji-panji pasukan sama kedudukannya dengan komandan pasukan. Tegasnya, kehadiran Rasul dalam peperangan tersebut adalah sebagai panglima tertinggi, dan Ali berkedudukan sebagai panglima perang.
Ketika perang badar mulai berkobar, Ali Ibn Abi Thalib bersama pamannya, Hamzah Ibn Abdul Muthalib, disertai beberapa orang sahabat yang lain berada di barisan paling terdepan. Sebagai orang yang diberi kepercayaan penuh oleh Rasul, ia memberi contoh kepada semua pasukan muslimun untuk terjun ke medan laga dan menerjang pasukan musuh yang jauh lebih besar dan lebih kuat.
Ketika terjadi perang tanding, Ali Ibn Abi Thalib berduel melawan al-Walid, kedua-duanya adalah yang termuda dikalangan pasukannya masing-masing. Ubaidah berduel melawan Syaibah, kedua-duanya orang yang tertua. Hamzah berduel dengan Uthbah, kedua-duanya termasuk orang-orang yang berusia sedang. Dengan demikian, maka sesuai dengan tradisi yang berlaku, tiap tantangan perang tanding harus dilayani oleh orang yang berumur sebaya. Setelah melakukan dual, tiga orang pendekar perang musyrikin Quraisy tersebut mati terbunuh ditangan tiga orang pendekar dikalangan kaum muslimin tersebut. Akhirnya, dalam perang badar ini telah dimenangkan oleh kaum muslimin. Dalam perang Badar ini, 70 orang pasukan kafir Quraisy mati terbunuh, dan hampir separuhnya mati di hujung pedang Ali Ibn Abi Thalib. Selain itu, lebih dari 70 orang pemuka Quraisy berjaya ditawan dan dibawa ke Madinah.
2. Perang Uhud.
Peperangan Uhud terkenal dalam sejarah sebagai peperangan yang amat gawat. 700 pasukan muslimin harus berhadapan dengan 3000 pasukan kafir Quraisy yang dipersiapkan dengan bekalan dan senjata serba lengkap .
Dalam menghadapi peperangan melawan kaum musyrikin yang memusatkan pasukannya di lembah Uhud, Rasul menetapkan adanya tiga buah panji. Panji-panji pasukan muhajirin beliau serahkan kepada imam Ali merangkap sebagai pemegang raayah ( bendera perang, yang berarti pemimpin semua pasukan muslimin).
Untuk menghadapi kaum musyrikin yang sudah memusatkan kekuatan di Uhud, pasukan muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW menuju ke tempat itu, dengan melalui jalan singkat sehingga gunung Uhud berada di belakang mereka. Kemudian Rasulullah SAW mula mengatur barisan. 50 orang pasukan pemanah ditempatkan di sebuah lembah di antara dua bukit. Kepada mereka diperintahkan supaya menjaga pasukan yang ada di belakang mereka. Ditekankan jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan apa sekalipun. Sebab hanya dengan senjata panah sajalah serbuan pasukan berkuda musuh dari belakang dapat ditahan.
Thalhah Ibn Abi Thalhah adalah seorarng pendekar perang dari bani Abdud Dar (al-Abdari), yang oleh kaum musyrikin Quraisy dijuluki dengan nama “Kabsyul-Katibah” (Bandut pasukan, yang dimaksud ialah orang terkuat dalam peperangan) mati ditangan Ali dalam perang Uhud tersebut. Dengan matinya Thalhah Ibn Abu Thalhah sebagai pemegang panji kaum musyrikin, jatuh pula panji-panji kebanggaannya. Kemudian panji-panji tersebut diambil alih secara berturut-turut oleh 12 orang tokoh kaum musyrikin, yang kemudian mati juga di tangan Ali Ibn Abi Thalib.
Namun dalam catatatan sejarah, perang Uhud ini dimenangkan oleh kaum musyrikin dengan sebab kelengahan kaum muslimin sendiri. Setelah pasukan kaum musyrikin telah mulai melemah, ternyata kaum muslimin menganggap enteng pasukan kaum musyrikin tersebut dan tujuan berikutnya hanya terfokus pada pengambilan harta yang telah ditinggalkan kaum kafir Quraisy yang ketika itu telah terdesak. Pasukan kaum muslimin telah tergoda dengan harta rampasan perang yang banyak. Pasukan memanah telah melupakan pesan Rasulullah SAW agar tidak meninggalkan posisi mereka. Mereka turun dari bukit untuk mengambil harta-harta yang ditinggalkan tentara musyrikin. Waktu itulah pihak musuh kembali menyusun barisan dan memulai kembali serangan ke atas tentara Islam.

C. MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI IBN ABI THALIB.
Setelah Usman Ibn Affan wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah yang ke empat . Namun, ternyata Ali memerintah hanya selama enam tahun. Tidak ada sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil . Masa pemerintahannya empat tahun diawali dengan perang dan diakhiri dengan perang pula.
Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali Ibn Abi Thalib memecat para gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman. Ia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Oleh sebab itu, ia mengangkat Utsman Ibn Hanif sebagai amir Bashrah untuk menggantikan Ibn Amir; Qais dikirim ke Mesir untuk menjadi amir sebagai pengganti dari Abd Allah Ibn Abi Syarh; dan Muawiyah Ibn Abi Sufyan menolak untuk diganti . Selain itu, Ali Ibn Abi Thalib juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatan kepada negara , dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan. Ketika berkobar peperangan antara Ali Ibn Abi Thalib dan Muawiyah Ibn Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata: “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit .
Ali Ibn Abi Thalib menghadapi perlawanan dari Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara Zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Ia mengirimkan surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan itu ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dasyatpun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama “perang Jamal” (unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan kemudian dikirim kembali ke Madinah.
Selain perlawanan dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah, Ali Ibn Abi Thalib juga menghadapi perlawanan dari gubernur di Damaskus yang bernama Muawiyah Ibn Abi Sofyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Maka dari itu, setelah memadamkan perlawanan Zubair, Thalhah, dan Aisyah, Ali bergerak dari Kuffah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin. Pertempuran terjadi disini yang dikenal dengan nama perang Siffin. Perang kemudian diakhiri dengan tahkim (arbitrase) .
Pada saat perang Siffin tersebut, sebenarnya pasukan Ali Ibn Abi Thalib hampir berhasil mematahkan pertahanan pasukan Muawiyah. Dalam situasi demikian, pasukan Muawiyah yang berasal dari Syam telah mengangkat mushhaf al-Quran sebagai tanda bahwa perang harus diakhiri dengan melakukan perdamaian yang dikenal dengan tahkim . Ali Bin Abi Thalib dan kelompoknya telah sepakat untuk mengutus Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil dari tahkim tersebut. Sedangkan pihak Muawiyah Bin Abi Sofyan dan kelompoknya telah memilih Amr Bin al-‘Ash sebagai wakil dalam tahkim tersebut. Selama menunggu hasil perdamaian yang dilakukan oleh masing-masing utusan, Ali Ibn Abi Thalib kembali ke Kufah dan Muawiyah kembali ke Syiria .
Setelah terjadi kesepakatan dua utusan tersebut, kemudian hasilnya disampaikan kepada khalayak ramai di Adzrah. Pertemuan ini disaksikan oleh sejumlah sahabat seperti Sa’ad Ibn Abi Waqash dan Ibn Umar. Dalam penyampaian tersebut, Abu Musa al-Asy’ari terlebih dahulu menyampaikan hasil tahkim tersebut kepada masyarakat, yang isinya menurunkan Ali Ibn Abi Thalib dari jabatannya sebagai khalifah. Sedangkan Amr Ibn al ’Ash dalam pidatonya telah menerima keputusan penurunan Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah dan menetapkan Muawiyah Ibn Abi Sofyan sebagai penggantinya . Peristiwa ini merugikan pihak Ali dan menguntungkan bagi pihak Muawiyah. Namun demikian, hasil keputusan ini tidak diterima Ali, dan bahkan ia tidak mau melepaskan jabatannya hingga ia mati terbunuh .
Namun ternyata hasil tahkim tidak dapat menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, yakni orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, diujung masa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi’ah (pengikut Ali), dan al-Khawarij (orang yang keluar dari barisan Ali).
Munculnya kelompok al-Khawarij menyebabkan tentara Ali Ibn Abi Thalib semakin lemah, sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Dan akhirnya pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali dibunuh oleh salah seorang anggota Khawarij. Ketika beliau sedang berjalan menuju ke masjid untuk sembahyang Subuh, tiba-tiba muncul Abdul Rahman Ibn Muljam dengan pedang terhunus. Pedang itu telah mencederakan Ali dengan parah. Ali kemudian telah diusung pulang ke rumahnya oleh para Sahabat. Ketika itu ramai yang ingin membalas dendam tetapi Ali sendiri dengan lapang dada dan ikhlas langsung tidak menyebut tentang balas dendam.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya, Hasan, selama beberapa bulan. Namun karena Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, dibawah Muawiyah Ibn Abi Sofyan. Disisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41H (661 M) ialah tahun persatuan umat Islam, yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘am jamaah).

D. WASIAT ALI IBN ABI THALIB YANG TERAKHIR
Sebelum wafat, Ali Ibn Abi Thalib telah berwasiat kepada seluruh keluarganya dan kepada seluruh kaum muslimin. Adapun wasiat Ali Ibn Abi Thalib adalah sebagai berikut:

“Aku perintahkan kamu, Hasan, dan semua anakku dan anggota keluargaku, juga siapa saja yang mendengar wasiat ini, untuk bertakwa kepada Allah, Tuhan kami dan kamu, dan janganlah “kamu mati kecuali sebagai muslim (QS al-Baqarah:132). “Dan berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah kamu berpecah belah” (QS. Ali-Imran: 103), karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “membuat kedamaian diantara masyarakat lebih utama ketimbang semua ibadah puasa dan shalat. Sungguh, dalam perselisihan dan konflik terdapat benih-benih keruntuhan agama”. Pikirkanlah dengan baik keluarga dekatmu dan perlakukan mereka dengan baik, karena dengan begitu Tuhan akan memudahkan perhitunganmu. Dengan nama Allah, jangan biarkan mulut anak yatim mengering dan berbau busuk akibat lapar. Dengan nama Allah, perlakukanlah tetanggamu dengan baik, karena mereka adalah tanggung jawab Rasulullah”.

Ali Ibn Abi Thalib kemudian memerintahkan kaum muslimin agar tunduk kepada al-Quran dan melaksanakan shalat secara teratur, dan menjalankan puasa ramadhan. Kemudian ia melanjutkan perkataannya dengan:
“Dengan nama Allah, berjuanglah (dijalan Allah) dengan harta dan jiwamu. Dengan nama Allah, bayarlah zakat karena itu akan menghapus murka Tuhan. Dengan nama Allah, waspadalah bahwa anggota keluarga nabimu tidak boleh tertindas diantara kamu. Dengan nama Allah, beranggapan baiklah terhadap sahabat nabimu, karena ia memerintahkan (menghormati) mereka. Dengan nama Allah, ingatlah kepada orang fakir miskin, bagilah hartamu bersama mereka. Dengan nama Allah, ingatlah terhadap orang-orang yang dimiliki oleh tangan (tanggunganmu), karena wasiat terakhir Rasulullah adalah “Aku memerintahkan kamu agar berbuat baik terhadap orang miskin, yaitu orang-orang yang dimiliki oleh tangan kananmu.

Berbicaralah baik-baik dengan orang karena Tuhan telah memerintahkan kamu (Lihat QS. Al-Baqarah: 83). Janganlah berhenti melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, sebab jika tidak, (amanat) ini akan diberikan kepada orang lain. Lalu kamu berdoa, tetapi doamu tidak akan terkabul.

Berjuanglah dengan kerendahan hati, tolong menolong dan jujur. Janganlah memutuskan diri (dari kerabatmu), menimbulkan perpecahan atau mundur dari komitmenmu. “Tolong menolonglah satu sama lain dalam kebaikan dan kesalehan, dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kepada Allah, karena Allah maha pedih siksa-Nya”. (QS. al-Maidah: 2).

Selain wasiat tersebut di atas, ketika Ali Ibn Abi Thalib tahu bahwa sudah hampir masanya untuk beliau menyusuli Rasulullah SAW dan tiga orang Khalifah sebelumnya, ia sempat berwasiat dengan kata-kata sebagai berikut :
"Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allah. Janganlah kalian mengejar-ngejar dunia walau dunia mengejar kalian dan janganlah menyesal jika ada sebahagian dunia itu terlepas darimu.
Hendaklah kalian mengatur baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan antara kalian. Ketahuilah, pertengkaran itu merosakkan agama dan ingatlah bahwa tidak ada kekuatan apa pun selain atas izin Allah. Perhatikan anak-anak yatim agar jangan sampai mereka kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak.
Perhatikan Al Quran, jangan sampai kalian mendahulukan orang lain dalam mengamalkannya. Perhatikan tetangga kalian sebab mereka adalah wasiat Nabi kalian."

Dengan berakhirnya masa khalifah Ali Ibn Abi Thalib, maka berakhirlah masa pemerintahan khulafa ar-Rasyidin. Pada masa khulafaar-Rasyidin ini, ekspansi Islam begitu cepat telah sampai keluar daerah semenanjung Arabia. Jadi, wilayah kekuasaan Islam sudah sangat luas pada saat itu. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mepunyai pengalaman politik yang memadai.
Adapun hal-hal yang menyebabkan ekspansi Islam ke luar daerah semenanjung Arabia demikian cepat adalah :
1. Ajaran-ajaran dasar Islam tidak hanya menyangkut persoalan hubungan manusia dengan Tuhan dan soal hidup manusia sesudah hidup pertama sekarang saja, namun Islam juga mementingkan soal pembentukan masyarakat yang berdiri sendiri lagi mempunyai sistem pemerintahan, undang-undang dan lembaga-lembaga sendiri.
2. Dalam hati para sahabat nabi Muhammad seperti Abu Bakar, Umar,dan lain-lain terdapat keyakinan yang tebal tentang kewajiban menyampaikan ajaran-ajaran Islam keseluruh tempat. Dan pada suku-suku bangsa arab terdapat kegemaran untuk berperang. Karena mereka telah merupakan satu umat dibawah naungan Islam, peperangan antara sesama mereka, seperti yang biasa terjadi di zaman jahiliyah, tidak mungkin terjadi.
3. Negara Bizantium dan Persia pada saat itu telah memasuki masa kelemahan. Kelemahan itu timbul bukan hanya karena peperangan, tetapi juga karena faktor-faktor dalam negeri. Kalau di daerah-daerah yang berada dibawah kekuasaan Bizantium terdapat pertentangan-pertentangan agama, di Persia di samping pertentangan agama, terdapat pula persaingan antara anggota-anggota keluarga raja untuk merebut kekuasaan.
4. Dengan adanya usaha-usaha kerajaan Bizantium untuk memaksakan aliran yang dianutnya kepada rakyat yang diperintah, rakyat merasa kehilangan kemerdekaan beragama. Selain itu, rakyat juga dibebani dengan pajak yang tinggi guna menutupi belanja perang kerajaan Bizantium dengan kerajaan persia. Hal ini membuat rakyat-rakyat yang berada didaerah-daerah yang dikuasai Bizantium tidak senang dengan kerajaan ini.
5. Islam datang ke daerah-daerah dengan tidak memaksakan rakyat untuk mengubah agamanya dan kemudian memaksakan kehendak untuk masuk Islam.
6. Bangsa Sami di Suria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa Bizantium yang memerintah mereka.
7. Daerah-daerah yang dikuasai Islam seperti Mesir, Suria, Irak, dan lain-lain penuh dengan kekayaan. Kekayaan yang diperoleh umat Islam di daerah-daerah itu membuat ekspansi seterusnya mudah mendapat bea yang diperlukan.

Setelah Usman Ibn Affan meninggal, maka kekhalifahan diganti oleh Ali Ibn Abi Thalib. Namun, masa pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib hanya sekitar 6 tahun selama dia menjabat. Hal ini tidak sesuai dengan masa pemerintahan selama 6 tahun dengan dengan berbagai permasalahan-permasalahan yang ia hadapi.
Terjadi perlawanan-perlawanan yang Ali Ibn Abi Thalib hadapi, dan lebih mengherankan para penentang tersebut adalah para sahabat nabi sendiri, yaitu Zubair dan Thalhah, dan bahkan Isteri nabi saw sendiri yakni Aisyah. Ditambah lagi dengan sikap Muawiyah Ibn Abi Sofyan, seorang gubernur Damaskus yang tidak mau tunduk pada pemerintahan pusat, membuat masa pemerintahan Ali begitu sulit dan rumit.
Timbulnya perpecahan antara umat muslim diawali dengan peperangan antara Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abu Sofyan yang berakhir dengan peristiwa tahkim, yang telah melahirkan golongan-golongan tertentu. Seharusnya tahkim diharapkan dapat mendamaikan diantara kedua belah pihak yang bermasalah, tetapi kenyataannya malah menambah masalah baru.
Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas sejarah Ali Bin Abi Thalib. Pembahasan ini penulis batasi hanya pada sejarahnya mulai dari silsilah keluarganya, pengalaman dalam berbagai peperangan, masa pemerintahan khalifahnya, serta wasiatnya yang terakhir.
Penulis sadari, ke empat topik bahasan tersebut di atas tidaklah memuat seluruh sejarah Ali Ibn Abi Thalib. Dalam pembahasan mengenai silsilah keluarganya misalkan, tidak penulis jelaskan secara mendetail nama-nama seluruh istrinya serta anaknya. Dalam peperangan, tidak penulis jelaskan pengalaman Ali dalam semua peperangan yang ia hadapi. Walaupun hanya sekilas penulis paparkan mengenai sejarahnya, namun diharapkan dapat memberikan gambaran riwayat Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dapat membaca sejarah Ali bin Abi Thalib melalui berbagai sumber yang lebih lengkap.

KESIMPULAN

Kepribadian Ali Ibn Abi Thalib yang begitu mantap membuat masa pemerintahannya selalu diatasi dengan penuh bijaksana. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Ali Bin Abi Thalib dilakukan demi untuk kemashlahatan manusia.
Sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekeliruan, Ali Ibn Abi Thalib juga telah melakukan suatu kebijakan yang telah merugikan pemerintahannya sebagaimana dalam peristiwa tahkim. Namun menurut hemat penulis, sebenarnya keinginan Ali Ibn Abi Thalib untuk melakukan perdamaian dengan cara tahkim ini telah membuktikan bahwa Ali Ibn Abi Thalib adalah khalifah yang selalu cinta rakyatnya, bukan pemerintahan yang selalu mementingkan kepentingan pribadi. Dalam tahkim (arbitrase), Ali Ibn Abi Thalib telah memikirkan dengan matang resiko akibat yang ditimbulkan jika keputusan ini dilakukan. Disini, Ali telah meninggalkan bahaya lebih besar diantara bahaya-bahaya lain.
Perselisihan yang terjadi antara Ali Ibn Abi Thalib dengan Aisyah, Thalhah, Zubair serta dengan Muawiyah Ibn Abu Sofyan, bukanlah perselisihan mengenai bidang agama, namun hanya perselisihan dalam bidang politik. Namun, telah terjadi pergeseran pada perselisihan Ali Ibn Abi Thalib dengan Kaum Khawarij, yang semula pada bidang politik lalu menggeser pada penafsiran-penafsiran kaum Khawarij mengenai nash. Konsep kaum Khawarij tentang “laa Hukma illa lillah” adalah interpretasi mereka untuk melegalkan usaha-usaha yang mereka lakukan demi untuk mencapai apa yang mereka maksudkan.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.ikhwan-global- locus.info/?module=serba&act=detail&id=60, diakses pada tanggal Tgl 10-10-2008 pkl. 13.18
http://www.gaulislam.com/sejarah-ringkas-baitul-mal, diakses pada tanggal 10 Oktober 2008 pkl. 13. 28
http://media.isnet.org/islam/Etc/Ali.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2008 pkl. 13.18
M. Ayoub, M. Ayoub, The Crisis Of Muslim History: Akar-Akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.
Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV. Pustaka Islamika, 2008.
Muhtadin, Imamul, Kisah Suka dan Duka Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, Terj. Al-Hamid al-Husaini, Singapura: Pustaka Nasional, 1995
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid I, Edisi kedua, Jakarta: UI-Press, 2005
Yatim, Badri, Sejarah Peradapan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar